Minggu, 24 April 2011
BANK INDONESIA ?
1
Independensi Bank Indonesia Yang Terbukti Runyam
Sri-Edi Swasono
Mari kita perhatikan apa yang tersurat pada kalimat terakhir Penjelasan Pasal 23
UUD 1945, yang menegaskan bahwa “Berhubung dengan itu, kedudukan Bank Indonesia yang
akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas, ditetapkan dengan undang-undang”.
Kalimat ini pendek namun tegas dan sarat dengan substansi. Perkataan
“Berhubung dengan itu”, sebagaimana disebutkan di atas, jelas mengkaitkan kedudukan
Bank Indonesia dengan tugas penyelenggaraan pemeritahan negara yang tercakup dalam
keseluruhan isi Pasal 23 UUD 1945. Jadi sebenarnya sejak awal, ketika istilah
“independensi” Bank Indonesia dikumandangkan, terus terang saya merasakan bakal
terjadinya suatu konflik, paling tidak suatu inkonsistensi, antara tugas dan wewenang
Bank Indonesia dengan tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan negara.
Tentang kedudukan Bank Indonesia yang “mengeluarkan dan mengatur peredaran
uang” seperti dikemukakan di atas, mengandung tanggung jawab dan konsekuensi yang
sangat luas, sehingga sejak awal dapat dirasakan bahwa masalah independensi Bank
Indonesia akan memerlukan suatu fleksibilitas dalam implementasinya.
UU No. 23 Tahun 1999, yang saat ini akan di amendemen, menegaskan tujuan
dan tugas Bank Indonesia melalui 3 Pasal, yaitu: Pasal 7 (Tujuan Bank Indonesia adalah
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah); Pasal 8 (Menetapkan dan melaksanakan
kebijaksanaan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan
mengawasi Bank); dan Pasal 9 (Pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan
terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, Bank Indonesia
wajib menolak dan mengabaikan segala campur tangan dari pihak manapun dalam pelaksanaan
tugasnya). Pasal 48 (Anggota Dewan Gubernur tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya
kecuali karena yang bersangkutan mengundurkan diri, terbukti melakukan tindak pidana kejahatan,
atau berhalangan) dimaksudkan untuk memperkukuh Pasal-pasal 7,8 dan 9 di atas.
Ketika saya membaca Pasal-pasal 7, 8, 9 dan 48 UU No.23 Tahun 1999 itu,
instinct saya mendorong saya untuk berkesimpulan negatif: “Ini negara di dalam negara!”
Hal ini berdasar keraguan saya tentang bagaimana mungkin bisa menjadi sangat ekslusif,
bahwa Bank Indonesia sekaligus menetapkan dan melaksanakan kebijaksaan moneter
(secara independen). Ibaratnya pemerintah menjadi terbungkam, disisihkan peran
aktifnya untuk mengatur kebijaksanaan ekonomi yang pasti selalu mengandung
kebijaksanaan moneter sebagai derivatnya. Entah dari mana datangnya naskah undangundang
Bank Indonesia semacam itu. Pernah diberitakan naskah itu datang dari Jerman
yang berhaluan Bundesbank. Kalau benar demikian memang tak mengherankan terasa
benar adanya semacam “kediktatoran” ala Jerman.
* * *
Dari pengantar di atas tentulah menjadi lumrah bahwa saat ini telah terjadi
“kerunyaman” (absurdity) dalam hubungan antara Bank Indonesia dan Pemerintah.
Kemelut besar yang saat ini melanda Bank Indonesia tak terlepas dari kedudukan
independensinya yang tidak bisa diterima, baik oleh pemerintah maupun oleh sebagian
masyarakat yang tidak menghendaki adanya dualisme soverenitas. Tentu kemelut besar
di Bank Indonesia itu terjadi pula karena alasan intern.
2
Kemelut semacam ini telah menjelaskan sendiri (self-explanatory), bahwa
sebenarnya Bank Indonesia telah gagal melaksanakan peran dan tugasnya secara optimal
sebagaimana ditentukan oleh Penjelasan Pasal 23 UUD 1945, dan Pasal-pasal 7, 8 dan 9
UU No.23 Tahun 1999. Bank Indonesia terbukti tidak mampu memelihara kestabilan
nilai rupiah, tidak mampu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter secara
tepat. Mengatur dan menjaga kelancaran sistim pembayaran pun tidak jelas arah dan
ujudnya. Lebih dari itu Bank Indonesia jelas telah gagal dalam mengatur dan mengawasi
bank-bank. Perbankan Indonesia menjadi berantakan dan terpuruk seperti yang kita lihat
saat ini tidak terlepas dari tidak efektifnya pengawasan Bank Indonesia. Undang-undang
tentang Bank Indonesia ini sudah berlaku satu setengah tahun, lebih tua dari usia
pemerintahan Gus Dur, namun tidak ada tanda-tanda akan bisa efektif.
Untuk sedikit lebih bersahabat dalam menanggapi independensi Bank Indonesia
sebagaimana ditetapkan oleh UU No. 23 Tahun 1999, dapatlah kiranya dikemukakan
sebagai berikut ini. Keinginan untuk memberikan kedudukan independensi kepada Bank
Indonesia tentulah tidak terlepas dari pengalaman sejarah, betapapun pendek sejarah ini.
Memang pemerintahan Orde Baru yang totalitarian telah menyalahgunakan
kekuasaannya dan menjadikan Bank Indonesia sebagai suatu alat kekuasaan rezim. Bank
Indonesia tidak lagi menjadi suatu lembaga terhormat untuk melaksanakan tugas dan
wewenangnya yang mulia demi kemaslahatan bangsa dan negara, tetapi telah menjadi
alat kekuasaan bagi para penguasa negara. Jadi independensi Bank dimaksudkan untuk
menghindari dapat terjadinya campur tangan kotor dari pemerintahan yang tidak bersih,
yang penuh dengan pelanggaran dan penyalah-gunaan kekuasaan. Dari sinilah lahir citacita
independensi untuk bank sentral itu dan sekaligus melebar ke tingkat ekstrimitasnya,
sehingga mengabaikan posisi sub-ordinasi terhadap pemeritahan negara. Sampai-sampai
secara eksplisit tersurat ketentuan yang menetapkan bahwa “pihak lain dilarang melakukan
segala macam campur tangan” dan juga bahwa “Bank Indonesia wajib menolak dan mengabaikan
segala campur tangan dari pihak manapun”. Ini yang absurd sekali !
Di dalam independensi ini tersurat dan tersirat kuat adanya sikap apriori bahwa
setiap pemerintah (pemerintahan negara) pastilah akan selalu kotor, akan selalu
menyeleng dan menyalahgunakan kekuasaan serta korup. Seolah-olah tidak pernah
terbayangkan bahwa suatu pemerintahan bisa pula akan baik, bersih dan berwibawa,
sebagaimana reformasi mencita-citakannya.
Sebaliknya, independensi itu dilandasi oleh suatu pandangan apriori menyakini
bahwa bank sentral kita pastilah akan merupakan suatu lembaga yang tangguh, bersih,
bebas dari penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaaannya, serba baik, dan
terhormat, patut diseganai dan profesional dan seterusnya. Andaikata demikian ini yang
digambarkan tentang Bank Indonesia, dengan segala kepatutannya untuk menyandang
independensi, maka kita tidak perlu terperanjat melihat kenyataan semrawut yang ada,
yang pasti akan menjadi bahan tertawaan. Bank Indonesia telah kebobolan, kecolongan,
telah menjadi “sarang penyamun” sebagaimana Anwar Nasution pernah menggambarkannya.
Dengan independensinya itu, pimpinan Bank Indonesia bahkan
cenderung arogan. Independensi Bank Indonesia terkesan telah menumbuhkan
semacam superiority complex dan sekaligus mendorong pimpinan Bank Indonesia lebih
berani ngawur dalam membuat pernyataan-pernyataan kebijaksanaan yang sebenarnya
memerlukan kedalaman pemikiran (misalnya saja mengenai pasar-bebas, spekulasi dan
intervensi) belum lama ini. Dengan mutu profesionalisme dan kepemimpinan semacam
itu independensi Bank Indonesia bisa saja berubah menjadi malapetaka nasional. Patut
diragukan, mampukah Bank Indonesia membendung krisis moneter yang saat ini masih
terus mengintai Indonesia. Ibaratnya Bank Indonesia, ataupun pihak-pihak yang
3
menghendaki independensi Bank Indonesia, telah menuding kebobrokan pemerintah,
tanpa mampu mawas diri bahwa Bank Indonesia sebenarnya sedang menjadi tudingan
masyarakat.
* * *
Kita mengenal Presiden Abdurrahman Wahid dan gaya kepemimpinannya dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara yang “otoritarian”. Dengan mudah kita
memahami bahwa Presiden Abdurrahman Wahid pasti akan “berselisih” dengan Bank
Indonesia berkaitan dengan independensi Bank Indonesia semacam itu. Memang untuk
alasan apapun, tentu diharapkan alasan yang baik (reformasi), independensi Bank
Indonesia macam ini akan memasung dinamika dan kreativitas penyelenggaraan negara.
Pemerintah akan merasakan, seperti diungkapkan di atas, adanya negara di dalam negara.
Hal ini sempat saya (sebagai pembicara utama) kemukakan dalam suatu diskusi
reformatif yang di prakarsai oleh Salahuddin Wahid beberapa waktu yang lalu dan
mendapat tanggapan positif dan kurang lebihnya afirmatif.
Belum lagi kalau penyakit lama kambuh, bahwa pemerintah benar-benar akan
main kayu, mencampur adukkan antara reformasi dan deformasi sekaligus, maka
independensi Bank Indonesia akan merupakan sumber perselisihan yang akut. Seperti
dapat diduga, inilah yang terjadi saat ini.
Lebih dari itu, bukan saja tentang independensi Bank Indonesia yang kini
dipermasalahkan, tetapi juga tentang posisi dan kekuasaan Bank Indonesia telah menjadi
suatu perebutan yang memalukan. Independensi Bank Indonesia semacam itu tentu
akan menarik bagi kekuatan (partai-partai) oposisi. Independensi akan bisa menjadi
sarana perebutan kekuatan antara pemerintah dengan pihak oposisi, dengan
menggunakan otoritas Bank Indonesia sebagai benteng perlawanan politik. Inipun
kiranya sedang terjadi pada saat ini.
Antara pemerintah dan Bank Indonesia seharusnyalah terjadi suatu koordinasi
integral. Indonesia menganut faham “Penta Politica”, pemisahan kekuasaan antara lima
(penta) kekuasaan negara, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif, advisori (DPA)
dan auditori (BPK). Bank Indonesia tidak ada kaitannya dengan penta politica ini. Dalam
posisi semacam ini maka Bank Indonesia haruslah terkoordinasi dalam pemerintahan
negara yang diselenggarakan oleh pemerintah, di dalam suatu tingkat sub-ordinasi
tertentu. Selanjutnya biarlah lembaga legislatif melakukan pengawasan efektifnya
terhadap pemerintah.
* * *
Dengan kata lain independensi Bank Indonesia perlu di redefinisi, harus menjadi
lebih soepel dan fleksible, sehingga tidak terjadi dualisme otoritas dan kebijaksanaan
antara pemerintah dan Bank Indonesia. Tanpa itu maka kemelut ekonomi dan moneter
di lapangan akan sulit diatasi. Independensi yang menumbuhkan dualisme otoritas
semacam itu memang peka akan pertarungan. Dalam pertarungan antara keduanya
tentulah akan menguntungkan pihak ketiga yang bisa mempermainkan dan
menggerogoti perekonomian nasional kita. Pertengkaran antara pemerintah dan Bank
Indonesia saat ini pasti akan lebih memperpuruk rupiah kita, mendorong capital flight,
melambungkan tingkat suku bunga, menghambat investasi dan tentulah menunda
pembukaan lapangan kerja bagi rakyat. Penyelewengan KLBI dan BLBI akan makin sulit
terlacak, pencetakan uang palsu akan makin sukar diungkap.
Sementara itu saya menghargai sikap konsekuen dan taat hukum Syahril Sabirin
sampai UU No. 23 Tahun 1999 itu di amendemen secara jujur (tanpa ada udang di balik
4
batu). Saya pun menghargai sikap pemerintah yang tidak menghendaki dualisme
soverenitas, yang tidak mustahil dualisme ini merupakan suatu skenario politik besar
terhadap Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar