Minggu, 24 April 2011
yahudi di indonesia
Pemeluk Yahudi Indonesia ingin Agama Mereka jadi Agama Resmi
MANADO (voa-islam.com) – Komunitas Yahudi di Manado Sulawesi Utara menginginkan ajaran yang mereka yakini dijadikan sebagai salah satu agama resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia dan tercantum sebagai pilihan agama dalam dalam kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Dulu, para pemeluk Yahudi di Manado mencantumkan agama lain di kartu tanda penduduk (KTP) mereka.
Bukan hanya itu. Mereka juga ingin pernikahan dengan ajaran Yahudi diakui secara resmi di Indonesia. Kata Rabbi Yaakov Baruch, pemimpin ibadah Yahudi di Manado, selama ini, jika menikah, kaum Yahudi di Indonesia “meminjam” prosesi agama yang mereka peluk. Itu agar pernikahan mereka diakui pemerintah.
Karena itu, Yaakov bersama anggota komunitas Yahudi lainnya sedang berupaya agar Yahudi diakui sebagai agama resmi di Indonesia. Selain itu, dia meminta agama Yahudi menjadi salah satu pilihan kolom agama di KTP. Mereka sudah menyewa pengacara untuk mengusahakannya, baik lewat jalur hukum formal maupun lobi-lobi. “Berkas-berkas sudah kami siapkan. Pengacara yang tahu detail teknisnya,” kata Yaakov yang juga dosen fakultas hukum ini.
Yaakov menuturkan, di masa pemerintahan Belanda di Indonesia, agama Yahudi diakui sebagai agama resmi. Begitu pula ketika masa pemerintahan Soekarno. Bahkan, hak penganut Yahudi sama dengan agama lainnya seperti Islam, Kristen, dan Katolik.
..Yaakov bersama anggota komunitas Yahudi lainnya sedang berupaya agar Yahudi diakui sebagai agama resmi di Indonesia. Selain itu, dia meminta agama Yahudi menjadi salah satu pilihan kolom agama di KTP..
Yaakov lantas menunjukkan kopi surat lawas surat Menteri Agraria yang dirilis pada 1961. Surat tersebut menyatakan mengakui bahwa kaum agama Israelit (sebutan kaum Yahudi pada masa itu) diakui sebagai agama di Indonesia. “Kenapa sekarang tidak” Kami memiliki hak yang sama,” kata Yaakov.
Sampai saat ini Yaakov belum mengetahui jumlah penganut Yahudi seluruh Indonesia. Yang dia ketahui baru dua komunitas. Yakni, di Manado dan di Surabaya. Namun, hanya komunitas Yahudi Manado yang terbuka kepada publik. Di daerah selain Manado dan Surabaya, bisa jadi ada karena banyak Yahudi Belanda dan Portugis yang datang ke Indonesia.
Dengan Yahudi diakui pemerintah, Yaakov berharap para penganut Yahudi berani muncul. Mereka juga bisa beribadah dengan tenang dan dokumentasi anak keturunan mereka menjadi jelas. “Kami capek kucing-kucingan terus. Sudah saatnya agama Yahudi diakui di Indonesia,” katanya.
Apa tidak khawatir dengan kasus insiden penyerangan Ahmadiyah di Pandeglang, Banten, beberapa waktu lalu” Yaakov mengakui, isu itu cukup sensitif. Namun, masyarakat tidak bisa terus-menerus berpikir jelek tentang Yahudi. Ini adalah waktu bagi warga Indonesia tahu bagaimana Yahudi sebagai kaum beragama.
“Orang kalau tidak tahu akan muncul banyak dugaan. Bukan berarti harus terus bersembunyi, tapi harus kita beri informasi yang tepat,” kata rabbi yang bolak-balik ke Israel untuk menimba ilmu agama ini.
Saat ini diperkirakan ada sekitar 500 orang pengikut Yahudi diSulawesi Utara. Mereka tidak tinggal di kawasan tertentu atau berkumpul dalam sebuah perumahan. Mereka tinggal terpisah dan berbaur dengan masyarakat umum lainnya. Mereka hanya berkumpul setiap ada perayaan hari raya.
..IIPAC adalah lembaga yang didirikan pada 2002. Lembaga tersebut berkantor di Jember, Jawa Timur. Komite itu bertujuan menggalang kerja sama antara pemerintah Israel dan Indonesia..
Bangun kantor perwakilan di 33 provinsi
Sementara itu tokoh Yahudi Indonesia lainnya, Benjamin Ketang, yang merupakan direktur eksekutif Indonesia-Israel Public Affairs Committee (IIPAC) mengatakan pihaknya sedang menargetkan pendirian kantor perwakilan IIPAC di 33 provinsi. Berbeda dengan Rabbi Yaakov Baruch yang fokus pada ibadah, Benjamin lebih fokus ke bisnis.
“Ini seperti lembaga lobi. Kami murni di bisnis. Terutama yang langsung bersinggungan dengan rakyat,” kata Benjamin saat ditemui di Jakarta. IIPAC adalah lembaga yang didirikan pada 2002. Lembaga tersebut berkantor di Jember, Jawa Timur. Komite itu bertujuan menggalang kerja sama antara pemerintah Israel dan Indonesia. Selain itu, menghubungkan Indonesia dengan investor Yahudi meski bukan dari negara Israel.
Benjamin mengatakan, meski Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, kerja sama tetap bisa dilakukan. Memang, kerja sama tersebut bukan G to G alias antar pemerintah. Tetapi, antara investor dan pengusaha atau pemerintah daerah setempat.
IIPAC, lanjut Benjamin, merancang program-program yang langsung bersentuhan dengan rakyat. Di antaranya, pemberdayaan petani, nelayan, dan bidang perkebunan. “Ini bukan menyebarkan agama Yahudi atau politik Yahudi. Ini semata untuk bisnis,” tuturnya.
..perusahaan Yahudi menanamkan duitnya pada perusahaan pertambangan di Indonesia. Termasuk di PT Bakrie and Brothers, perusahaan milik taipan Indonesia Aburizal Bakrie..
Selama ini, kata Benjamin, petani dan nelayan tidak pernah sejahtera. Setiap kali masa panen tiba, harganya jatuh. Akibatnya, mereka sering merugi. “Ini kan persoalan modal. Kami coba menghubungkan kebutuhan rakyat dengan pemodal Yahudi,” ungkapnya.
Lelaki yang menghabiskan dua tahun belajar S-2 peradaban Yahudi di Universitas Hebrew, Jerusalem, Israel, itu optimistis program tersebut bisa sukses. Sebab, manfaat program langsung dirasakan masyarakat. Apalagi dia mengklaim telah mendapat dukungan dari stakeholder. Lembaga itu juga merupakan organisasi resmi yang sudah mengantongi akta notaris.
Benjamin menambahkan, investasi bangsa Yahudi di Indonesia bukan barang baru. Sebelumnya, perusahaan Yahudi menanamkan duitnya pada perusahaan pertambangan di Indonesia. Termasuk di PT Bakrie and Brothers, perusahaan milik taipan Indonesia Aburizal Bakrie.
Lelaki 38 tahun itu mengatakan, investasi di Indonesia masih cukup sulit bagi bangsa Yahudi. Alasannya, Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Padahal, banyak pengusaha Israel yang ingin berinvestasi. Dengan membuka hubungan diplomatik, dia yakin akan ada banyak keuntungan bagi Indonesia. Mulai posisi politik Indonesia di antara negara-negara dunia hingga akses terhadap beasiswa pendidikan di Israel.
“Posisi Indonesia dengan Israel selalu sulit. Warga Indonesia tidak bisa tinggal lama di Israel. Bahkan, belajar di sana saja susah. Prosedur berbelit. Kalau punya hubungan diplomatik, Indonesia akan dianggap kawan. Negara seperti Amerika tidak akan berani intervensi,” katanya. (up/jpn)
WAH GIMANA DENGAN GOYIM-GOYIM NANTI GAN?
Sumber : Koran Muslim
BANK INDONESIA ?
1
Independensi Bank Indonesia Yang Terbukti Runyam
Sri-Edi Swasono
Mari kita perhatikan apa yang tersurat pada kalimat terakhir Penjelasan Pasal 23
UUD 1945, yang menegaskan bahwa “Berhubung dengan itu, kedudukan Bank Indonesia yang
akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas, ditetapkan dengan undang-undang”.
Kalimat ini pendek namun tegas dan sarat dengan substansi. Perkataan
“Berhubung dengan itu”, sebagaimana disebutkan di atas, jelas mengkaitkan kedudukan
Bank Indonesia dengan tugas penyelenggaraan pemeritahan negara yang tercakup dalam
keseluruhan isi Pasal 23 UUD 1945. Jadi sebenarnya sejak awal, ketika istilah
“independensi” Bank Indonesia dikumandangkan, terus terang saya merasakan bakal
terjadinya suatu konflik, paling tidak suatu inkonsistensi, antara tugas dan wewenang
Bank Indonesia dengan tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan negara.
Tentang kedudukan Bank Indonesia yang “mengeluarkan dan mengatur peredaran
uang” seperti dikemukakan di atas, mengandung tanggung jawab dan konsekuensi yang
sangat luas, sehingga sejak awal dapat dirasakan bahwa masalah independensi Bank
Indonesia akan memerlukan suatu fleksibilitas dalam implementasinya.
UU No. 23 Tahun 1999, yang saat ini akan di amendemen, menegaskan tujuan
dan tugas Bank Indonesia melalui 3 Pasal, yaitu: Pasal 7 (Tujuan Bank Indonesia adalah
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah); Pasal 8 (Menetapkan dan melaksanakan
kebijaksanaan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan
mengawasi Bank); dan Pasal 9 (Pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan
terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, Bank Indonesia
wajib menolak dan mengabaikan segala campur tangan dari pihak manapun dalam pelaksanaan
tugasnya). Pasal 48 (Anggota Dewan Gubernur tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya
kecuali karena yang bersangkutan mengundurkan diri, terbukti melakukan tindak pidana kejahatan,
atau berhalangan) dimaksudkan untuk memperkukuh Pasal-pasal 7,8 dan 9 di atas.
Ketika saya membaca Pasal-pasal 7, 8, 9 dan 48 UU No.23 Tahun 1999 itu,
instinct saya mendorong saya untuk berkesimpulan negatif: “Ini negara di dalam negara!”
Hal ini berdasar keraguan saya tentang bagaimana mungkin bisa menjadi sangat ekslusif,
bahwa Bank Indonesia sekaligus menetapkan dan melaksanakan kebijaksaan moneter
(secara independen). Ibaratnya pemerintah menjadi terbungkam, disisihkan peran
aktifnya untuk mengatur kebijaksanaan ekonomi yang pasti selalu mengandung
kebijaksanaan moneter sebagai derivatnya. Entah dari mana datangnya naskah undangundang
Bank Indonesia semacam itu. Pernah diberitakan naskah itu datang dari Jerman
yang berhaluan Bundesbank. Kalau benar demikian memang tak mengherankan terasa
benar adanya semacam “kediktatoran” ala Jerman.
* * *
Dari pengantar di atas tentulah menjadi lumrah bahwa saat ini telah terjadi
“kerunyaman” (absurdity) dalam hubungan antara Bank Indonesia dan Pemerintah.
Kemelut besar yang saat ini melanda Bank Indonesia tak terlepas dari kedudukan
independensinya yang tidak bisa diterima, baik oleh pemerintah maupun oleh sebagian
masyarakat yang tidak menghendaki adanya dualisme soverenitas. Tentu kemelut besar
di Bank Indonesia itu terjadi pula karena alasan intern.
2
Kemelut semacam ini telah menjelaskan sendiri (self-explanatory), bahwa
sebenarnya Bank Indonesia telah gagal melaksanakan peran dan tugasnya secara optimal
sebagaimana ditentukan oleh Penjelasan Pasal 23 UUD 1945, dan Pasal-pasal 7, 8 dan 9
UU No.23 Tahun 1999. Bank Indonesia terbukti tidak mampu memelihara kestabilan
nilai rupiah, tidak mampu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter secara
tepat. Mengatur dan menjaga kelancaran sistim pembayaran pun tidak jelas arah dan
ujudnya. Lebih dari itu Bank Indonesia jelas telah gagal dalam mengatur dan mengawasi
bank-bank. Perbankan Indonesia menjadi berantakan dan terpuruk seperti yang kita lihat
saat ini tidak terlepas dari tidak efektifnya pengawasan Bank Indonesia. Undang-undang
tentang Bank Indonesia ini sudah berlaku satu setengah tahun, lebih tua dari usia
pemerintahan Gus Dur, namun tidak ada tanda-tanda akan bisa efektif.
Untuk sedikit lebih bersahabat dalam menanggapi independensi Bank Indonesia
sebagaimana ditetapkan oleh UU No. 23 Tahun 1999, dapatlah kiranya dikemukakan
sebagai berikut ini. Keinginan untuk memberikan kedudukan independensi kepada Bank
Indonesia tentulah tidak terlepas dari pengalaman sejarah, betapapun pendek sejarah ini.
Memang pemerintahan Orde Baru yang totalitarian telah menyalahgunakan
kekuasaannya dan menjadikan Bank Indonesia sebagai suatu alat kekuasaan rezim. Bank
Indonesia tidak lagi menjadi suatu lembaga terhormat untuk melaksanakan tugas dan
wewenangnya yang mulia demi kemaslahatan bangsa dan negara, tetapi telah menjadi
alat kekuasaan bagi para penguasa negara. Jadi independensi Bank dimaksudkan untuk
menghindari dapat terjadinya campur tangan kotor dari pemerintahan yang tidak bersih,
yang penuh dengan pelanggaran dan penyalah-gunaan kekuasaan. Dari sinilah lahir citacita
independensi untuk bank sentral itu dan sekaligus melebar ke tingkat ekstrimitasnya,
sehingga mengabaikan posisi sub-ordinasi terhadap pemeritahan negara. Sampai-sampai
secara eksplisit tersurat ketentuan yang menetapkan bahwa “pihak lain dilarang melakukan
segala macam campur tangan” dan juga bahwa “Bank Indonesia wajib menolak dan mengabaikan
segala campur tangan dari pihak manapun”. Ini yang absurd sekali !
Di dalam independensi ini tersurat dan tersirat kuat adanya sikap apriori bahwa
setiap pemerintah (pemerintahan negara) pastilah akan selalu kotor, akan selalu
menyeleng dan menyalahgunakan kekuasaan serta korup. Seolah-olah tidak pernah
terbayangkan bahwa suatu pemerintahan bisa pula akan baik, bersih dan berwibawa,
sebagaimana reformasi mencita-citakannya.
Sebaliknya, independensi itu dilandasi oleh suatu pandangan apriori menyakini
bahwa bank sentral kita pastilah akan merupakan suatu lembaga yang tangguh, bersih,
bebas dari penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaaannya, serba baik, dan
terhormat, patut diseganai dan profesional dan seterusnya. Andaikata demikian ini yang
digambarkan tentang Bank Indonesia, dengan segala kepatutannya untuk menyandang
independensi, maka kita tidak perlu terperanjat melihat kenyataan semrawut yang ada,
yang pasti akan menjadi bahan tertawaan. Bank Indonesia telah kebobolan, kecolongan,
telah menjadi “sarang penyamun” sebagaimana Anwar Nasution pernah menggambarkannya.
Dengan independensinya itu, pimpinan Bank Indonesia bahkan
cenderung arogan. Independensi Bank Indonesia terkesan telah menumbuhkan
semacam superiority complex dan sekaligus mendorong pimpinan Bank Indonesia lebih
berani ngawur dalam membuat pernyataan-pernyataan kebijaksanaan yang sebenarnya
memerlukan kedalaman pemikiran (misalnya saja mengenai pasar-bebas, spekulasi dan
intervensi) belum lama ini. Dengan mutu profesionalisme dan kepemimpinan semacam
itu independensi Bank Indonesia bisa saja berubah menjadi malapetaka nasional. Patut
diragukan, mampukah Bank Indonesia membendung krisis moneter yang saat ini masih
terus mengintai Indonesia. Ibaratnya Bank Indonesia, ataupun pihak-pihak yang
3
menghendaki independensi Bank Indonesia, telah menuding kebobrokan pemerintah,
tanpa mampu mawas diri bahwa Bank Indonesia sebenarnya sedang menjadi tudingan
masyarakat.
* * *
Kita mengenal Presiden Abdurrahman Wahid dan gaya kepemimpinannya dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara yang “otoritarian”. Dengan mudah kita
memahami bahwa Presiden Abdurrahman Wahid pasti akan “berselisih” dengan Bank
Indonesia berkaitan dengan independensi Bank Indonesia semacam itu. Memang untuk
alasan apapun, tentu diharapkan alasan yang baik (reformasi), independensi Bank
Indonesia macam ini akan memasung dinamika dan kreativitas penyelenggaraan negara.
Pemerintah akan merasakan, seperti diungkapkan di atas, adanya negara di dalam negara.
Hal ini sempat saya (sebagai pembicara utama) kemukakan dalam suatu diskusi
reformatif yang di prakarsai oleh Salahuddin Wahid beberapa waktu yang lalu dan
mendapat tanggapan positif dan kurang lebihnya afirmatif.
Belum lagi kalau penyakit lama kambuh, bahwa pemerintah benar-benar akan
main kayu, mencampur adukkan antara reformasi dan deformasi sekaligus, maka
independensi Bank Indonesia akan merupakan sumber perselisihan yang akut. Seperti
dapat diduga, inilah yang terjadi saat ini.
Lebih dari itu, bukan saja tentang independensi Bank Indonesia yang kini
dipermasalahkan, tetapi juga tentang posisi dan kekuasaan Bank Indonesia telah menjadi
suatu perebutan yang memalukan. Independensi Bank Indonesia semacam itu tentu
akan menarik bagi kekuatan (partai-partai) oposisi. Independensi akan bisa menjadi
sarana perebutan kekuatan antara pemerintah dengan pihak oposisi, dengan
menggunakan otoritas Bank Indonesia sebagai benteng perlawanan politik. Inipun
kiranya sedang terjadi pada saat ini.
Antara pemerintah dan Bank Indonesia seharusnyalah terjadi suatu koordinasi
integral. Indonesia menganut faham “Penta Politica”, pemisahan kekuasaan antara lima
(penta) kekuasaan negara, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif, advisori (DPA)
dan auditori (BPK). Bank Indonesia tidak ada kaitannya dengan penta politica ini. Dalam
posisi semacam ini maka Bank Indonesia haruslah terkoordinasi dalam pemerintahan
negara yang diselenggarakan oleh pemerintah, di dalam suatu tingkat sub-ordinasi
tertentu. Selanjutnya biarlah lembaga legislatif melakukan pengawasan efektifnya
terhadap pemerintah.
* * *
Dengan kata lain independensi Bank Indonesia perlu di redefinisi, harus menjadi
lebih soepel dan fleksible, sehingga tidak terjadi dualisme otoritas dan kebijaksanaan
antara pemerintah dan Bank Indonesia. Tanpa itu maka kemelut ekonomi dan moneter
di lapangan akan sulit diatasi. Independensi yang menumbuhkan dualisme otoritas
semacam itu memang peka akan pertarungan. Dalam pertarungan antara keduanya
tentulah akan menguntungkan pihak ketiga yang bisa mempermainkan dan
menggerogoti perekonomian nasional kita. Pertengkaran antara pemerintah dan Bank
Indonesia saat ini pasti akan lebih memperpuruk rupiah kita, mendorong capital flight,
melambungkan tingkat suku bunga, menghambat investasi dan tentulah menunda
pembukaan lapangan kerja bagi rakyat. Penyelewengan KLBI dan BLBI akan makin sulit
terlacak, pencetakan uang palsu akan makin sukar diungkap.
Sementara itu saya menghargai sikap konsekuen dan taat hukum Syahril Sabirin
sampai UU No. 23 Tahun 1999 itu di amendemen secara jujur (tanpa ada udang di balik
4
batu). Saya pun menghargai sikap pemerintah yang tidak menghendaki dualisme
soverenitas, yang tidak mustahil dualisme ini merupakan suatu skenario politik besar
terhadap Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)